hutan papua sebagai paru-paru indonesia dan dunia
Propinsi Papua adalah Propinsi yang terletak di wilayah paling timur di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merupakan daerah yang penuh harapan dengan potensi alamnya dan hutannya yang luas menjadikannya sebagai salah satu paru-paru dunia bersama dengan hutan di Amazon dan hutan di Kongo.
Daerah Papua secara keseluruhan belum banyak disentuh oleh aktivitas manusia dan kaya akan sumber daya alam yang menyajikan peluang untuk berbisnis dan berkembang, meskipun rakyat Papua asli belum bisa menikmati kekayaan alam mereka di tanah mereka sendiri. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut, dan keanekaragaman biotanya dan berjuta-juta tanahnya yang cocok untuk dijadikan tanah pertanian. Di dalam buminya, Papua juga menyimpan gas alam, minyak, serta aneka bahan tambang lainnya yang siap untuk diolah dan dipasarkan kepada masyarakat luas.
Papua terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun karena daerahnya yang bergunung-gunung maka iklim di Papua menjadi sangat bervariasi melebihi daerah di Indonesia lainnya. Di daerah pesisir barat dan utara beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1.500 – 7.500 mm per tahun. Curah hujan tertinggi terjadi dipesisir pantai utara dan di pegunungan tengah, sedangkan curah hujan terendah terjadi di pesisir pantai selatan. Suhu udara bervariasi sejalan dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m (900 kaki), secara rata-rata suhu akan menurun 0,6°C.
Hutan di Pulau Papua sangat penting bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Namun hutan di Pulau Papua juga memberi manfaat bagi seluruh dunia sebagai ‘paru-paru bumi’. Banyak pihak yang ingin mendukung masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat melindungi hutan untuk memetik manfaat sebesar-besarnya, dan bukan dari pembalakan atau pembukaan hutan untuk kelapa sawit. Selain dampak langsung dari pembukaan hutan, dipahami pula bahwa penghancuran hutan melepaskan gas karbon dalam jumlah sangat besar yang kemudian menyumbang proses pemanasan bumi, dan seterusnya menimbulkan perubahan iklim. Krisis iklim atau pemanasan muka bumi yang biasa dikenal dengan nama global warming telah mendorong keadaan iklim yang tidak stabil, termasuk banjir dan kekeringan, meningkatnya tinggi permukaan air laut lebih dari satu meter, serta menyusutnya luas salju di area pegunungan.
Maksimum 9 juta hektar hutan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah diidentifikasi oleh Departemen Kehutanan untuk dikonversi. Belajar dari pengalaman daerah lain di Indonesia, konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang serius yaitu konflik penguasaan tanah, konflik perburuhan, lenyapnya bahan pangan penting, semakin terbatasnya sumber daya untuk kesehatan dan bahan bangunan, pencemaran dan peracunan akibat penggunaan pestisida, dan juga potensi lenyapnya ekosistem hutan untuk selama-lamanya.
Sebagian hutan di Papua kini juga sudah berstatus sebagai hutan produksi. Penetapan status suatu kawasan harus disesuaikan dengan kemampuan daya dukung perlakuan lahannya guna menghindari terjadinya konflik jangka panjang. Penetapan status kawasan hutan yang kurang/tidak tepat atau tidak sesuai dengan kemampuan DDLP (Daya Dukung Perlakuan Lahan) akan menimbulkan konflik di kemudian hari, misalnya terkait dengan kebutuhan hidup masyarakat yang terus meningkat dan juga jumlah penduduk yang semakin bertambah. Pengadaan survei ke kawasan-kawasan pemanfaatan dapat dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan sebagai bahan rumusan dalam pengelolaan hutan lestari, khususnya dalam pembangunan hutan produksi alam lestari.
Sebagian besar wilayah Papua merupakan kawasan hutan (97,4%), yang terbagi atas kawasan konversi (42,4%) dan kawasan hutan produksi (55,0%), sedangkan sisanya seluas 2,6% berupa areal penggunaan lain (APL). Data luasan tersebut merupakan hasil pengukuran secara digitasi dari Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Papua yang dipaduserasikan dengan batas administrasi wilayah Kabupaten hasil pemekaran. Hasil pengukuran ulang fungsi hutan tersebut memberikan luasan yang berbeda dan sekaligus dapat dianggap sebagai koreksi terhadap SK Menhutbun No. 891/Kpts-II/1999. Koreksi secara keseluruhan alokasi fungsi hutan tersebut masih bersifat sementara karena harus didukung oleh informasi kesesuaian dengan daya dukung perlakuan lahan (DDPL). Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Provinsi Papua memiliki potensi kawasan hutan yang sangat besar, dimana lebih dari setengah kawasan hutan bahkan dari luasan wilayah Provinsi merupakan kawasan hutan produksi.
Luas kawasan hutan Papua berdasarkan Keputusan Menhutbun nomor 891/Kpts-II/1999 seluas 42,224 juta Ha. Kawasan hutan tersebut dibagi kedalam kelompok fungsi hutan lindung, hutan suaka alam dan pelestarian alam, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan kawasan perairan.
SISTEM HUTAN KERAKYATAN
Pemerintah Indonesia telah menawarkan sistem hutan kerakyatan sejak tahun 1998, namun konsep tersebut belum mengedepankan rakyat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Rakyat hanya diajak, dan bukan rakyat yang menentukan sistem pengelolaan hutan. Kemudian di tahun 2003, dikeluarkan kembali pencanangan social forestry oleh pemerintah, yang konsepnya tidak jauh beda dengan konsep hutan kemasyarakatan.
Selain itu, sangat banyak terdapat sistem pengelolaan hutan oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dimana masyarakat diperbolehkan untuk melakukan penanaman tanaman semusim di sela tanaman jati, dimana arealnya masih dikelola oleh Perhutani dan masyarakat hanya ikut ‘menumpang’ di lahan tersebut.
Sistem Hutan Kerakyatan memiliki dua kata kunci, yaitu “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Sistem hutan untuk menggambarkan bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.
Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) memiliki prinsip-prinsip diantaranya bahwa:
- ‘Aktor utama’ pengelola adalah masyarakat lokal dan masyarakat adat.
- Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan.
- Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya.
- Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat.
- Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat.
- Pengetahuan lokal atau indigenous knowledge menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya.
- Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat.
- Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian atau sustainability
- Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama.
- Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Sistem Hutan Kerakyatan sendiri sebenarnya adalah pola-pola pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan aturan-aturan lokal yang disepakati bersama oleh aturan adat atau aturan lokal. Sistem Hutan Kerakyatan juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun akan lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk utama dari sistem hutan kerakyatan. Jika akan menebang pohon, hal tersebut hanya lebih pada untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan komunitas.
PENGALIHAN FUNGSI HUTAN DI PAPUA ANCAM KEHIDUPAN JUTAAN WARGA PAPUA
Sekitar 1,2 juta orang asli Papua terancam kehidupannya menyusul makin maraknya pengalihan fungsi hutan di Papua menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun perkebunan yang lainnya. Menurut Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, Sefter Manufandu, hutan bagi masyarakat asli Papua merupakan gudang makanan. Sebab di dalamnya terdapat sumber obat-obatan, makanan, dan berbagai sumber kehidupan sehari-hari bagi kelangsungan hidup generasi ke generasi.
Misalnya untuk pembukaan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit di Arso, Kabupaten Keerom, tidak mampu mensejahterahkan masyarakat. Padahal, perkebunan itu telah ada sejak 21 tahun yang lalu di atas lahan 50 ribu hektare. Salah satu penyebabnya adalah ongkos angkut dari lahan petani ke pabrik perusahaan. Satu kali angkut hasil kebun kelapa sawit ke pabrik pengolahannya sekitar 1,4 hingga 1,5 juta rupiah.
Perkebunan kelapa sawit yang diharapkan memberi peningkatan pendapatan petani, ternyata semakin menyusahkan mereka. Pendapatan petani sawit jika mengerjakan sendiri Rp 500 ribu per bulannya, jika dikontrakkan kepada orang lain hanya Rp 300 ribu per bulannya sehingga banyak petani yang mengontrakkan lahan sawitnya, karena pendapatannya tidak sebanding dengan ongkos angkut hasil panen.
Selain itu, di bagian selatan Papua, tepatnya di Kabupaten Merauke, ada 31 investor kelapa sawit, misalnya saja PT. Bio Inti Agrindo dan PT. Papua Agro Lestari, masing-masing memiliki sekitar 39 ribu hektare perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Distrik Ulilin. Sementara PT. Dongin Prabhawa juga memiliki 39 ribu hektar lahan di Distrik Okaba. Mereka telah mengantongi izin dari gubernur Papua untuk mengurus izin pembukaan hutan dari Departemen Kehutanan pada tahun lalu. Sementara pada Agustus 2008, grup Binladin dari Arab Saudi menyanggupi investasi senilai Rp 39 triliun untuk membiayai Merauke Integrated Food and Energy Forum. Sebagian besar investasi itupun untuk kelapa sawit.
Namun dari hasil riset Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan masyarakat adat di Merauke, masyarakat khususnya warga Auwyu di Distrik Anim Ha tidak setuju dengan pembukaan lahan ini. Ada indikasi terjadi konspirasi antara pemerintah dengan perusahaan sawit yang ingin berinvestasi di tanah adat mereka.
Daerah Papua secara keseluruhan belum banyak disentuh oleh aktivitas manusia dan kaya akan sumber daya alam yang menyajikan peluang untuk berbisnis dan berkembang, meskipun rakyat Papua asli belum bisa menikmati kekayaan alam mereka di tanah mereka sendiri. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut, dan keanekaragaman biotanya dan berjuta-juta tanahnya yang cocok untuk dijadikan tanah pertanian. Di dalam buminya, Papua juga menyimpan gas alam, minyak, serta aneka bahan tambang lainnya yang siap untuk diolah dan dipasarkan kepada masyarakat luas.
Papua terletak di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun karena daerahnya yang bergunung-gunung maka iklim di Papua menjadi sangat bervariasi melebihi daerah di Indonesia lainnya. Di daerah pesisir barat dan utara beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1.500 – 7.500 mm per tahun. Curah hujan tertinggi terjadi dipesisir pantai utara dan di pegunungan tengah, sedangkan curah hujan terendah terjadi di pesisir pantai selatan. Suhu udara bervariasi sejalan dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m (900 kaki), secara rata-rata suhu akan menurun 0,6°C.
Hutan di Pulau Papua sangat penting bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Namun hutan di Pulau Papua juga memberi manfaat bagi seluruh dunia sebagai ‘paru-paru bumi’. Banyak pihak yang ingin mendukung masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat melindungi hutan untuk memetik manfaat sebesar-besarnya, dan bukan dari pembalakan atau pembukaan hutan untuk kelapa sawit. Selain dampak langsung dari pembukaan hutan, dipahami pula bahwa penghancuran hutan melepaskan gas karbon dalam jumlah sangat besar yang kemudian menyumbang proses pemanasan bumi, dan seterusnya menimbulkan perubahan iklim. Krisis iklim atau pemanasan muka bumi yang biasa dikenal dengan nama global warming telah mendorong keadaan iklim yang tidak stabil, termasuk banjir dan kekeringan, meningkatnya tinggi permukaan air laut lebih dari satu meter, serta menyusutnya luas salju di area pegunungan.
Maksimum 9 juta hektar hutan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah diidentifikasi oleh Departemen Kehutanan untuk dikonversi. Belajar dari pengalaman daerah lain di Indonesia, konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang serius yaitu konflik penguasaan tanah, konflik perburuhan, lenyapnya bahan pangan penting, semakin terbatasnya sumber daya untuk kesehatan dan bahan bangunan, pencemaran dan peracunan akibat penggunaan pestisida, dan juga potensi lenyapnya ekosistem hutan untuk selama-lamanya.
Sebagian hutan di Papua kini juga sudah berstatus sebagai hutan produksi. Penetapan status suatu kawasan harus disesuaikan dengan kemampuan daya dukung perlakuan lahannya guna menghindari terjadinya konflik jangka panjang. Penetapan status kawasan hutan yang kurang/tidak tepat atau tidak sesuai dengan kemampuan DDLP (Daya Dukung Perlakuan Lahan) akan menimbulkan konflik di kemudian hari, misalnya terkait dengan kebutuhan hidup masyarakat yang terus meningkat dan juga jumlah penduduk yang semakin bertambah. Pengadaan survei ke kawasan-kawasan pemanfaatan dapat dilakukan untuk memperoleh informasi yang diperlukan sebagai bahan rumusan dalam pengelolaan hutan lestari, khususnya dalam pembangunan hutan produksi alam lestari.
Sebagian besar wilayah Papua merupakan kawasan hutan (97,4%), yang terbagi atas kawasan konversi (42,4%) dan kawasan hutan produksi (55,0%), sedangkan sisanya seluas 2,6% berupa areal penggunaan lain (APL). Data luasan tersebut merupakan hasil pengukuran secara digitasi dari Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Papua yang dipaduserasikan dengan batas administrasi wilayah Kabupaten hasil pemekaran. Hasil pengukuran ulang fungsi hutan tersebut memberikan luasan yang berbeda dan sekaligus dapat dianggap sebagai koreksi terhadap SK Menhutbun No. 891/Kpts-II/1999. Koreksi secara keseluruhan alokasi fungsi hutan tersebut masih bersifat sementara karena harus didukung oleh informasi kesesuaian dengan daya dukung perlakuan lahan (DDPL). Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Provinsi Papua memiliki potensi kawasan hutan yang sangat besar, dimana lebih dari setengah kawasan hutan bahkan dari luasan wilayah Provinsi merupakan kawasan hutan produksi.
Luas kawasan hutan Papua berdasarkan Keputusan Menhutbun nomor 891/Kpts-II/1999 seluas 42,224 juta Ha. Kawasan hutan tersebut dibagi kedalam kelompok fungsi hutan lindung, hutan suaka alam dan pelestarian alam, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan kawasan perairan.
SISTEM HUTAN KERAKYATAN
Pemerintah Indonesia telah menawarkan sistem hutan kerakyatan sejak tahun 1998, namun konsep tersebut belum mengedepankan rakyat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Rakyat hanya diajak, dan bukan rakyat yang menentukan sistem pengelolaan hutan. Kemudian di tahun 2003, dikeluarkan kembali pencanangan social forestry oleh pemerintah, yang konsepnya tidak jauh beda dengan konsep hutan kemasyarakatan.
Selain itu, sangat banyak terdapat sistem pengelolaan hutan oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dimana masyarakat diperbolehkan untuk melakukan penanaman tanaman semusim di sela tanaman jati, dimana arealnya masih dikelola oleh Perhutani dan masyarakat hanya ikut ‘menumpang’ di lahan tersebut.
Sistem Hutan Kerakyatan memiliki dua kata kunci, yaitu “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Sistem hutan untuk menggambarkan bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.
Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) memiliki prinsip-prinsip diantaranya bahwa:
- ‘Aktor utama’ pengelola adalah masyarakat lokal dan masyarakat adat.
- Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan.
- Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya.
- Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat.
- Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat.
- Pengetahuan lokal atau indigenous knowledge menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya.
- Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal ataupun jika bukan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat.
- Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian atau sustainability
- Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama.
- Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
Sistem Hutan Kerakyatan sendiri sebenarnya adalah pola-pola pengelolaan hutan yang telah sejak lama dilakukan oleh rakyat dengan aturan-aturan lokal yang disepakati bersama oleh aturan adat atau aturan lokal. Sistem Hutan Kerakyatan juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun akan lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan non kayu sebagai produk utama dari sistem hutan kerakyatan. Jika akan menebang pohon, hal tersebut hanya lebih pada untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan komunitas.
PENGALIHAN FUNGSI HUTAN DI PAPUA ANCAM KEHIDUPAN JUTAAN WARGA PAPUA
Sekitar 1,2 juta orang asli Papua terancam kehidupannya menyusul makin maraknya pengalihan fungsi hutan di Papua menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun perkebunan yang lainnya. Menurut Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, Sefter Manufandu, hutan bagi masyarakat asli Papua merupakan gudang makanan. Sebab di dalamnya terdapat sumber obat-obatan, makanan, dan berbagai sumber kehidupan sehari-hari bagi kelangsungan hidup generasi ke generasi.
Misalnya untuk pembukaan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit di Arso, Kabupaten Keerom, tidak mampu mensejahterahkan masyarakat. Padahal, perkebunan itu telah ada sejak 21 tahun yang lalu di atas lahan 50 ribu hektare. Salah satu penyebabnya adalah ongkos angkut dari lahan petani ke pabrik perusahaan. Satu kali angkut hasil kebun kelapa sawit ke pabrik pengolahannya sekitar 1,4 hingga 1,5 juta rupiah.
Perkebunan kelapa sawit yang diharapkan memberi peningkatan pendapatan petani, ternyata semakin menyusahkan mereka. Pendapatan petani sawit jika mengerjakan sendiri Rp 500 ribu per bulannya, jika dikontrakkan kepada orang lain hanya Rp 300 ribu per bulannya sehingga banyak petani yang mengontrakkan lahan sawitnya, karena pendapatannya tidak sebanding dengan ongkos angkut hasil panen.
Selain itu, di bagian selatan Papua, tepatnya di Kabupaten Merauke, ada 31 investor kelapa sawit, misalnya saja PT. Bio Inti Agrindo dan PT. Papua Agro Lestari, masing-masing memiliki sekitar 39 ribu hektare perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Distrik Ulilin. Sementara PT. Dongin Prabhawa juga memiliki 39 ribu hektar lahan di Distrik Okaba. Mereka telah mengantongi izin dari gubernur Papua untuk mengurus izin pembukaan hutan dari Departemen Kehutanan pada tahun lalu. Sementara pada Agustus 2008, grup Binladin dari Arab Saudi menyanggupi investasi senilai Rp 39 triliun untuk membiayai Merauke Integrated Food and Energy Forum. Sebagian besar investasi itupun untuk kelapa sawit.
Namun dari hasil riset Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan masyarakat adat di Merauke, masyarakat khususnya warga Auwyu di Distrik Anim Ha tidak setuju dengan pembukaan lahan ini. Ada indikasi terjadi konspirasi antara pemerintah dengan perusahaan sawit yang ingin berinvestasi di tanah adat mereka.
Komentar
Posting Komentar